Assalamualaikum..... sedikit berbagi, cerpen ini dibuat oleh adikku. Sebenarnya aku tak menyangka sama sekali bahwa cerpen ini dia buat sendiri. Dan cerpen ini dibuat untuk tugas Mata Pelajaran Bahasa Indonesia nya kemarin ....
HAKIKI
Karya : Amril Sastra
Aku
belum kalah.
Tahukah kalian jika manusia memiliki
kekuatan yang luar biasa di balik hatinya ? kekuatan yang bisa membuat orang
bahagia, senang atau dapat merasa kedamaian ? sesuatu yang besar di balik
hatinya ?
CINTA ? banyak orang menganggap
cinta adalah segalanya. Cinta adalah kebahagiaan. Cinta adalah kekuatan yang
besar yang tersimpan di balik hati.
Tapi ini semua bukan tentang cinta.
Jika jawaban kalian adalah cinta.
Kalian salah. Ada kekuatan yang lebih besar dari cinta. Sesuatu yang tersimpan
dibalik hati manusia. Murni, dan jauh dalam lubuk hati manusia. Sulit
ditemukan.
Temukan jawabannya!
**
Aku Karti.
Lembut
belaian angin menyapu sela-sela rambutku, berbisik lirih menggumamkan kerinduan.
Angin malam menghembuskan sejuta sunyi membawa sepi. Aku menatap langit memandang
jauh. Jauh sekali, malam ini langit
terang tak tersaput awan dihiasi berjuta bintang yang tumpah mengukir angkasa. Hanya rembulan menyepi
sendiri namun tetap bersinar.
Aku berdiri
di beranda rumah panggung tua yang mungil. Rumahku. Menatap langit tenang
sembari mengadu pada Nya. Kenapa ? hanya itu yang ingin aku tanya. Seakan mendapat jawaban wajah itu
datang bagai siluet yang terbentuk dari ribuan bintang. Wajah kuat yang
tersenyum dengan bahagia. Oh wajah itu aku merindukannya. Rindu sekali.
Kerlip
lampu rumah penduduk memecah gulita
malam. Hanya hening bertabur angin malam yang membekukan hati. Wajah itu masih
terpapar di langit terang. Dalam lamunan, ingatanku kembali mengingat kejadian
tadi siang. Wajah marah ibu masih terngiang dalam benakku, dengan segala
perkataannya yang bagaikan peluru bertubi-tubi menghantam tubuhku. Hati ini berusaha menerima
semua perlakuan ibu karena bukan kali ini saja ibu bersikap seperti itu padaku. Namun tetap saja dengan logika tak
mampu menerima semuanya.
Perlahan
sebutir kristal bening keluar dari pelupuk mata ini. Kristal cair yang menyimpan
segala rasa yang sedang ku alami saat ini. Walau terbiasa menerima perlakuan
ini semua namun tetap saja menyakitkan bagiku. Memang kejadian tadi salahku, aku
lupa mengangkat jemuran ibu ketika hujan lebat seketika mengguyur. Aku punya
alasan untuk itu dua adik laki-laki ku sedang bertengkar memperebutkan sebuah
mainan. Yang tua tidak mau mengalah yang satunya berkeras hati. Namun bagi ibu
tidak ada alasan untuk kesalahanku. Salah tetap salah. Maka aku mendapatkan
amarah besar serta hukuman. Sekali memberi alasan ibu membentakku dengan
perkataan yang bagiku itu adalah sebuah pisau yang di hujamkan kepadaku. “kau
anak durhaka”, “tidak berguna”, demikian perkataan ibu padaku jikalau aku
menjawab.
Bukan karena itu semua aku menangis hanya aku
rindu. Aku rindu ibu yang dulu, aku rindu wajah yang terpapar di langit itu.
Ayah, dialah alasan dari ini semua, dialah alasan kenapa ibu seperti ini, dialah
alasan kenapa hidupku seperti ini, dia alasan kenapa hidup kami seperti ini.
Entahlah sejak kepergiannya, semua berubah, ibu tak lagi ayu dengan parasnya
seketika ia menjadi wanita tangguh, pekerja keras, kulitnya tak lagi terawat. Sejak
itu pula sifat ibu mulai berubah, ia tak lagi terbalut dalam sifat ayunya yang
ramah-tamah, Ia harus banting tulang menghidupi ke tiga anaknya ini, dari pagi
hingga senja mulai memenuhi langit. Sementara segala urusan rumah diserahkannya
kepadaku. Aku tak lagi suka bercerita kepada ibu. Aku takut. Bukan aku
membencinya, karena ini semua demi kami, hanya saja entah kenapa ada sesuatu
yang sulit untuk menerima ini semua. Aku mencoba, dan selalu mencoba menerima
namun tak sanggup.
“Karti!”
tegas suara itu menyapa dari belakangku, tepat didepan pintu. Lamunanku buyar,
aku menghentikan tangisku mengusap mataku yang berlinang. Suara itu, aku sangat
mengenal suara itu. Ibuku. “apakah kau ingin terus berada diluar sampai pagi.
Sudah tengah malam ini, masuk kedalam!” belum sempat menjawab, ibu langsung
memberi perintah. Aku diam, terdengar, langkah kakinya masuk kedalam.
Sekali
lagi aku menatap kelangit memandang bintang yang terus benderang mengukir
angkasa. Namun sayang wajah itu menghilang.
Mungkin itu hanyalah bayangan kerinduanku.
**
Semburat
cahaya kemerah-merahan di langit timur mulai jelas terlihat, memaparkan keindahannya
menyamarkan kegelapannya. Biru nan sejuk masih membungkus tanah kelahiranku yang
masih basah oleh embun pagi. Tak kalah riuh kicau burung menambah permainya
pagi.
Ketika itu aku
terbangun dari ranjang kayu yang telah lapuk dan dimakan usia. Sudah menjadi
tugasku untuk mengurus kedua adikku sejak ayah pergi ke nirwana langit. Sedangkan
ibu, selalu ketika kami bangun ibu sudah pergi bekerja di ladang. Bukan ladang
milik ibu tapi milik orang lain. Pagi ini seperti biasa rutinitasku adalah
membangunkan kedua adikku. Selepas sembahyang subuh dengan masih mengenakkan
mukena aku masuk ke kamar adikku. Raka dan Randi. Dua adik kembar yang sangat
keras hati selalu tidak mau mengalah. Beda 5 tahun saja dengan ku. Mereka saat
ini berusia 12 tahun masih menduduki bangku sekolah dasar kelas enam. Raka
lahir lebih dulu daripada Randi.
“Randi, Raka ayo bangun
!. Sudah pagi, kalian harus sekolah”. Dengan tegas aku membangunkan mereka. “iya
kak, sebentar lagi kami bangun” randi menyahut dengan ugal-ugalan. “Bangun,
nanti kalian terlambat ke sekolah”. Aku menarik selimut mereka dengan keras.
Masih juga mereka tidak mau bangun. “ ayo bangun nanti ibu marah kalau kalian
terlambat ke sekolah. Kakak juga yang mendapat omelan ibu. Ayo bangun!” aku
membentak mereka seraya mendorong tubuh mereka agar bangun. “Iya kak kami
bangun sekarang” aku menggiring mereka ke pintu belakang menuruni tangga kayu yang
telah hampir rubuh. Kamar mandi kecil yang bertembokkan kayu dan kain lusuh
dengan air sekadar air sumur saja yang dikelilingi oleh rerumputan liar yang
merambah ke kamar mandi. Sementara itu aku langsung bersiap menyiapkan sarapan
pagi untuk kami. Bersiap untuk pergi ke
sekolah. Aku masih duduk bangku SMA kelas 2. Sekolahku berada dekat dengan
sekolah Raka dan Randi hanya berjarak sekitar 150 meter. Walaupun hanya sekolah
desa namun cukup berkembang pesat akhir-akhir ini.
**
Pagi yang cerah, langkah
gontai menapaki jalan
setapak yang berliku. Aku mengikuti langkah kedua adikku yang berjarak tiga
langkah dariku. Mereka sibuk bercerita dan bercengkrama riuh. Hanya saja aku
sibuk memperhatikan sepatu bertaliku yang lusuh dan hampir saja tidak beralas. Sepatu
bekas dari tetangga. Kemaren sore aku hendak mengatakan pada ibu namun ibu
sudah keburu marah padaku. Aku takut, aku malu. Aku takut kalau alas sepatuku copot
dan aku akan malu pada teman-teman. Berpikir, dan berpikir sepintas terniat
dalam benakku untuk tidak datang sekolah hanya saja aku takut akan kemarahan
ibu. Tanpa sadar aku sudah tertinggal jauh dari kedua adikku. Aku berusaha
mengejar Raka
dan Randi.
“Raka,
Randi tunggu kakak!”. Aku berteriak sembari mengejar mereka yang sudah jauh
meninggalkanku. Terengah-engah aku mengejar mereka yang sudah jauh “makanya kakak
itu jalannya harus cepat, jangan sibuk mikirin pacar terus” cetus Raka bergurau. Aku hampir saja menjitak kepala pelontos
Raka, namun sayang aku sudah
sampai pada sekolahku.
Aku berhenti pada pintu gerbang
sekolah. Sekali lagi aku menatap ragu sepatuku.
“tenang Karti, hadapi semuanya dengan tenang. Jangan sampai kau
menjadi bahan tertawaan” aku berujar pada diriku sendiri. Menyemangati egoku,
meski begitu masih terselip keraguan jauh dalam hatiku. Aku masuk sambil berjalan
mengais seperti orang pincang. Takut sekali jika sepatuku tidak beralas. Sambil
membetulkan posisi jilbab aku masuk dengan keberaniaan yang menggunung namun
dialiri oleh sungai ketakutan dan keraguan. Aku berhati-hati dalam berjalan,
menjaga sepatuku tetap dalam kondisi baik. Mungkin akan baik sampai sekolah
nanti. Semoga keberuntungan berpihak padaku.
**
Waktu Merenggut harapan
Aku
salah. Ternyata keberuntungan tidak berpihak padaku. Hati ini gusar. Betapa
bencinya aku pada mereka. Benci sekali. Redup pandangan ku melihat semua. Aku
malu. Aku sedih. Tak mampu menerima semua kekesalan ini. Aku mengingat semuanya,
perkataan mereka, tawa mereka, gelagat mereka. Semua menyakitkan. Kejadian tadi
...
Hari
ini adalah jadwal untuk praktek di laboratorium komputer. Semua siswa
diharuskan untuk masuk kedalam laboratorium itu dan melepas sepatu. Melepas
sepatu. Syukurlah ucapku dalam hati. Setidaknya dapat memperlambat rusaknya
sepatuku.
Dua jam berlalu.
Jam pelajaran TIK
sudah selesai. Semua siswa segera bergegas meninggalkan laboratorium. Hanya
tertinggal aku dan dua orang perempuan lainnya yang disuruh oleh pak guru untuk
membersihkan laboratorium. Aku bersyukur lagi tidak mengenakkan sepatu itu
dengan cepat. Namun ketika aku keluar dan hendak kembali kekelas.
“Kemana sepatuku
?” aku berucap pelan. “kenapa Kar?” tanya salah satu temanku. “sepatuku hilang tadi
aku letakkan disini” aku menunjuk tempat itu dan melihat sekitar. “ya
udah kami kembali ke kelas dulu, mungkin ada teman yang lain yang melihat sepatumu.
Nanti aku kabarkan kepadamu”. Belum sempat menjawab mataku langsung terbelak
melihat itu. Sepatuku. Tiga brandalan nakal itu membawa sepatuku menggunakan kayu
panjang dan menggantung sepatu ku di sana. Sungguh jelas sepatuku yang hampir
saja tidak beralas. Mereka menertawakan dan memamerkannya pada siswa lain. Bak
pameran saja. Mereka membawa ke tengah lapangan dan berteriak-teriak. Betapa
emosi ini bercampur aduk. Hati ini marah, kesal, malu betapa aku benci melihatnya.
Rasa ada gravitasi menarikku kesana.Aku berlari dan merebut sepatuku. Kalian
tahu betapa aku malu. Sangat malu. Semua siswa menyorakiku. Dengan sedu Aku merebutnya
dan langsung pergi membawanya kekelas. Jadilah aku menahan segala perasaan
campur aduk hingga pulang. Dan tiga brandalan itu. Aku benci.
Benci sekali. Andai tadi aku tidak hadir ke sekolah pasti ini semua tidak akan
terjadi. Aku menyesal.
**
Gulita
malam. Langit kelam berhias awan. Memenjarakan semua kata. Kelu lidah ini
ketika hendak berucap pada ibu. Hati ini takut namun logika mendorong ku untuk
maju mengatakannya. Aku sedang membantu ibu untuk menyiapkan makan malam.
“Bu, ada sesuatu yang hendak kubicarakaan pada ibu”. Aku
berkata ragu. “ya, bilang saja ibu mendengarkan” Ibu menjawab tak acuh. “sepatuku Bu, sudah tak dapat dipakai lagi”. “kenapa
dengan sepatumu?”. “sepatu
itu sudah lama bu, sudah rusak dan lusuh. Alasnya hampir saja copot. Lagi pula sepatu itu pemberian tetangga”. “memangnya kenapa dengan
pemberian tetangga? Kau malu?” Ibu berkata dengan nada marah. “tidak Bu, aku tidak malu. Hanya saja aku sudah lama tidak pernah memakai sepatu baru”. “ya, Ibu tidak mampu, ibu tidak mampu membeli”. “untuk saat
ini ibu tidak bisa memenuhi permintaanmu. Pakai saja yang itu dulu”. “ tapi Bu ...”. “ tidak ada
tapi-tapi. Kau harus pakai itu dulu!. Sekarang cepat
panggilkan adik mu” Ibu membantah apapun yang aku
katakan.
Aku berbalik melangkah pergi dengan rasa
kecewa mendalam dalam dadaku. Sesak. Aku ingin menerima semua ini. Berusaha
bersabar menerima semuanya. Di ruang tengah ku lihat Raka dan Randi sedang asik bermain.
“Randi, Raka ibu
manggil kalian makan cepatlah!” ujarku beringas pada mereka. “iya kak, tapi
jangan marah,
nanti kakak cepat tua”. Ketus Randi. “kalau tua nanti tidak ada yang mau lagi”. Raka menambahkan. Anak-anak ini, aku
hampir saja menjitak mereka. Mataku terpicing pada mereka. Menatap marah. “ayo
cepat” aku memberi perintah. “iya” ucap Raka menjawab.
Di meja makan kami
duduk melingkar. Seperti biasa randi dan raka duduk di smaping ibu.
“Raka Randi kalian sudah bersihkan kebun,
yang ibu suruh”. Sontak
mereka saling bertatapan. Berhenti meneruskan makanan kedalam mulut. “jangan bilang kalian
lupa”. Sahut ibu dengan nada tinggi meski mereka tak menjawab. “tapi benar bu,
kami lupa” balas Rendi pelan. Aku hanya diam dan meneruskan makan. “Karti” sontak membuatku kaget. “kenapa tak
kau ingatkan pada mereka
untuk membersihkan kebun belakang. Seharusnya kau yang peringatkan mereka. Itu
tugas kau” tambah Ibu. Aku diam menatap heran kenapa jadi salahku. “tapi
Bu,”. “tidak ada tapi-tapi, karena segala urusan rumah Ibu serahkan pada kau. Jadi semua ini tugas kau.
Paham?”. “paham Bu” aku menjawab pelan. Dalam hati aku merasa kecewa. Mengapa
menjadi salahku.
Di beranda rumah tua lagi. Waktu
yang sama. Hati yang sama. Langit yang sama, Gulana yang sama. Apa gerangan
hati ini selalu hendak bersedih. Aku tak mampu menerima semua kebencian hari
ini, kekeselan hari ini. Aku benci. Aku benci pada tiga brandalan itu, aku
benci akan kemarahan Ibu, aku benci pada tingkah adikku, aku benci melihat
teman yang dapat hidup dengan senang.
Aku benci menjadi Karti. Karti yang selalu terpojokkan, Karti yang selalu menanggung kemarahan Ibu, Karti yang selalu menanggung beban adikknya, Karti yang miskin. Karti yang tak mampu menerima
kekesalan ini. Aku benci sekali. Aku memelas pada langit dan berharap
bumi mengiba padaku. Kembali
aku menatap langit dengan air mata. Langit kelam tertutup awan. Bintang tak
membuat formasi lagi . Hanya samar-samar cahaya bulan yang terlihat dan wajah
itu. Wajah itu kemana wajah itu pergi? Aku rindu. Sampai kapan aku seperti ini?
**
Pagi kembali datang dalam balutan surya yang hangat. Ahad kembali
menyapa. Syukurlah ahad tiba. Mengapa tidak urusuan sepatuku masih belum
selesai. Hari ini, juga kebetulan Ibu tidak pergi bekerja.
Langit biru. Gunung masih
berselimutkan awan putih. Angin sejuk berhembus di tengah paparan sinar
ultraviolet sungguh menyejukkan Aku
masih berharap bahwa tidak ada lagi kebencian hari ini. Pagi ini sekitar jam 10
pagi. Ibu mendadak menyuruh kami bertiga ke ladang paman Hardi. Mengambil kayu bakar dan sekaligus mengambil
segala jenis sayuran pun ikan yang ada di kolam paman Hardi. Atau apalah yang dapat di jadikan pengisi perut. Entah kenapa, tapi Ibu bilang bahwa hari ini Ibu tak punya uang. Jadilah segala makanan di ambil
dari ladang paman Hardi. Paman Hardi. Paman Hardi adalah adik dari ayahku. Wajahnya hampir mirip dengan ayahku tubuh tinggi tegap, dan wajah yang kuat
dihiasi jambang tipis. Sifatnya sungguh baik sekali. Tiap sebulan sekali ia
datang membawa segala bahan makanan. Pun dengan ladangnya ia mengizinkan kami
mengambil apa yang ada diladangnya. Begitupun dengan istrinya yang sungguh
cantik dan baik. Usianya masih muda sekitar 29 tahun. Ia sudah menganggap kami
sebagai anaknya. Memang sejak menikah 5 tahun lalu paman Hardi belum dikaruniai seorang anak pun.
Cukup jauh jalan yang harus
kami lewati, bagi Raka dan Randi karena mereka baru pertama kali pergi keladang paman
Hardi. Namun tidak bagiku aku sudah terbiasa pergi
kesana bersama Ibu. Namun hari ini, entah kenapa Ibu menyuruhku membawa dua anak nakal ini. Aku
menikmati perjalanan ini, walaupun cukup jauh. Dengan membawa keranjang bambu
dan pisau di dalamnya aku berjalan lebih dulu dari mereka. Malas sekali berjalan
bersama mereka yang sibuk bercerita sambil menjahili satu sama lain.
“ Raka, Randi kalian harus ikuti langkah kakak. Jangan berkeliaran” aku berkata dengan
tegas pada mereka sebelum berangkat “Baik kak” jawab mereka serempak sambil semangat.
Dalam
perjalanan aku terus memikirkan tentang sepatuku yang rusak. Aku masih
mendengar pembicaraan Raka dan Randi. Aku terbuai oleh pikiran. Hingga tanpa sadar
kebencian itu datang lagi tepat ketika sampai pada ladang paman Hardi. Tepat pada pondok yang di buat paman Hardi. Mereka hilang.
“ nah, kita
sudah sampai sekarang” dengan wajah cukup lelah aku menoleh kebelakang namun
mereka tidak ada lagi. Pasti mereka bercanda lagi. Mau menjahili aku. Pikir
singkatku. Aku meletakkan keranjangku pada batu yang tepat berada pada pondok
itu.“Raka, Randi kakak tidak mau bercanda. Sekarang keluar jangan
sembunyi” teriakku dengan tegas.
DIAM
“Raka, Randi cepat keluar. Kalau kalian tidak keluar nanti
kakak cari dan kalau dapat kakak jitak kepala kalian beneran. Cepat keluar” tegasku lagi
DIAM
“Raka, Randi kalian dimana” teriakku. Masih tidak ada jawaban.
Aku mulai panik kemana mereka. “Rakaaaaa, Randiiii.” Aku semakin panik. Aku mulai melihat
sekeliling. Hanya diam yang ku temukan dan semak belukar yang ada. Ini bukan
gurauan.
Dalam kepanikan aku kembali mengambil
keranjang yang kubawa tadi. Berlari dalam kepanikan. Pikiranku kacau. Mereka
selalu saja buat masalah denganku. Di sisi lain aku berharap mereka baik-baik
saja. Bagaimana tidak mereka belum pernah menjejaki jalan ke ladang paman Hardi. Tak tahu arah yang akan ku tuju. Aku terus
berlari mencari mereka. Selama mereka belum ditemukam aku tidak akan pulang.
Aku takut. Aku takut akan kemarahan Ibu. Tepat di tengah perjalanan aku menemukan harapan. Aku bertemu seorang petani. Dengan masih
terengah-engah aku bertanya.
“Pak, bapak lihat anak kecil dua orang tidak Pak. Kembar usianya dua belas tahun pak. Bapak lihat tidak pak” aku bertanya dengan rasa gelisah dan panik. “
tidak dek, tapi kalau
dua ekor kambing saya lihat dek”. Jawab bapak itu. Tanpa menghiraukan jawabnnya
aku langsung lari lagi dengan panik. Bodoh sekali dengan kambing itu. Aku kembali berlari. Dalam
hati ini aku berharap. Ya
tuhan jangan sampai ada apa-apa dengan mereka. Tepat di sebuah jembatan aku
bertemu lagi dengan dua orang. Tapi sayang mereka juga tidak melihat mereka.
Aku lelah. Terengah-engah
aku mencari mereka. Aku tak sanggup lagi berlari. Di dekat batu aku duduk. Ku
letakkan keranjang disaampingku. Perasaan ini membuatku lelah. Perlahan menetes
air mata ini dengan sedu. Aku
takut pulang. Kemarahan ibu membayang padaku.
Aku
benar-benar takut. Napasku
bergerak dengan kencang seiring tangisku. Bagaimana ini? Persoalan ini
membuatku benar-benar panik. Perasaan campur aduk. Namun disaat itu segelintir harapan datang padaku. Hanya
segelintir.
“Karti, kenapa menangis”. Tiba-tiba suara itu terucap
padaku seraya tangan itu memegang bahuku. Aku kaget. Menoleh kebelakang. Pak Yadi tetangga jauh ku. “kau pasti tengah mencari Raka dan Randi. Mereka sudah ku antar pulang”. Tambahnya. “beneran
Pak?” jawab ku menanti. “iya tadi mereka tersesat mencarimu.
Lagipula Randi
terluka dia terkena pecahan beling. Darahnya berceceran dimana-mana”. “mereka bilang kau meninggalkan mereka.
Tapi tidak, aku percaya pasti mereka yang sibuk bermain”. “Pulanglah sekarang Karti”. Aku berlari lagi menuju rumah. Pulang.
**
Deru yang menggebu
Perlahan aku menaiki tangga rumah
panggungku. Terdengar suara banyak orang di rumah. Aku membuka pintu perlahan
ragu. Terdengar suara Randi yang menangis. Pintu terbuka. Semua mata tertuju
padaku. DIAM. Semua diam. Mata itu berbicara padaku, mata itu dari
kejauhan. Tepat di sebelah Randi yang terkapar menangis menahan kesakitan. Mata Ibu, mata Ibu seakan telah memberiku perintah untuk pergi dan
mata
itu menyalahkanku atas
kecelakaan ini. Aku tak sanggup melihat mata itu. Mata merah yang berapi Aku tak sanggup
melihat mata Ibu.
Kembali aku menutup pintu dan berlari pergi dalam tangisan. Sudah terpikir
olehku tujuan kakiku berlari. Berlari jauh meninggalkan rumah. Kemana lagi yang
akan kutuju selain rumah paman. Pamanku satu-satunya.
Aku mengetuk pintu rumah
pamanku. Tepat di depan pintu.
“Assalamualaikum ....” ucapku. Sambil mengetuk pintu.
Diam tak ada yang menjawab. Kembali aku mengetuk pintu “assalamualaikum .... Paman, Bibi” ucapku dengan lebih keras lagi. Pintu terbuka
keluarlah Bibiku.
“Oh kau Karti, ayo mari masuk ke dalam” ucap Bibiku sambil mempersilahkan ku masuk. Aku masuk dengan
perlahan. Rumah Bibiku cukup luas dan terisi banyak. Bibi
mempersilahkanku duduk di kursi panjang yang
dekat dengan jendela menghadap
keluar. “Karti kau kenapa?” tanya Bibiku menyelidik. “tidak, aku tidak apa-apa Bi”. Jawabku bohong. “lalu kenapa matamu merah Karti” Bibi semakin menyelidik. “ oh hanya kelilipan saja Bi tadi, oh ya paman Hardi kemana Bi” ucapku berusaha mengalihkan pembicaraan. Walau aku
tahu Bibi menaruh curiga padaku
“ pamanmu lagi keluar tadi,
oh ya kau mau makan tidak?”. “ boleh, Bibi masak apa hari ini?” tanyaku mencairkan suasana.
Padahal dalam hati ini membeku dipenuhi ketakutan dan kebencian. Aku benci menjadi Karti.
**
Langit
sore, surya masih di ambang-ambang tenggelam. Aku terbangun. Terbangun dari
ranjang besar Bibiku.
Akupun tak sadar aku tertidur. Pulas lagi. Hanya aku sendiri disini.. aku keluar dan melihat paman dan Bibiku sedang bicara. Sepertinya serius. Aku keluar
dari pintu kamar.
“Karti kau sudah bangun”. Ucap Bibiku seketika aku keluar. Dia duduk menghadap paman.
Paman menoleh. “ayo Karti kesini, duduk bersama Bibi dan Paman”. Ucap Paman membujuk. Aku bergabung. Duduk di dekat bibi. Sejenak
diam. Paman
mulai berbicara.
“Bagaimana
dengan sekolahmu Karti?” ujar paman. “sekolahku baik paman” jawabku
pelan. “Karti ,sepertinya ada yang hendak kau sampaikan pada Paman dan Bibi” ucap paman mulai serius dan membujuk. “tidak Paman, tidak ada yang ingin aku katakan Paman.” Jawabku berusaha menutupi. “ Betulkah
Karti ?” Paman menyelidik. “aku boleh menginap disini tidak Paman. Semalam saja.?” . “ ada lagi ?” tanya Paman berusaha membuka rahasiaku. “ dengar, Paman tahu semuanya yang terjadi. Ibumu sudah bercerita
pada Paman. Nah sekarang Paman ingin mendengar penjelasan darimu pula, kenapa
kau pergi dari rumah ?”. Ucap paman. “ Karti, katakan saja yang sejujurnya. Barangkali Paman dan Bibi bisa bantu masalah engkau.” Tambah Bibi membujuk sambil mengelus rambut panjangku. “ Ibu. Aku benci akan Ibu. Seolah Ibu menyalahkan semuanya padaku. Setiap kesalahan
adikku aku yang kena marah. Ibu sudah tak sayang lagi padaku. Lagi pula aku
lelah pada rumah itu, aku benci menjadi Karti” Ucapku dalam sendu. Tangisku tumpah pada Bibi. Aku memeluk Bibi memeluk erat. Paman hanya diam aku melihat Bibi menghentikan perkataan dan pertanyaan Paman.
**
Waktu
semakin menusuk saja
Tiga hari sudah aku berada di rumah
Bibi. Dan aku semakin percaya bahwa Ibu benar-benar benci padaku. Buktinya dia sama sekali
tidak menjengukku bahkan dia sampai menitipkan bajuku pada Paman dan Bibi, semua peralatan sekolahku. Aku tetap sekolah meski berada di rumah Bibi. Dan urusan sepatu untunglah bibiku punya sepatu
lama yang sudah rusak namun tidak separah punyaku. Entahlah kenapa pikiranku
ini membenci Ibu.
Yang jelas perasaan ini campur aduk kesal, marah, kecewa, rindu, benci semua berpadu dalam hatiku. Tiba-tiba Paman memanggil. Bicara berdua saja karena Bibi sedang memasak pada saat itu.
“Karti, sekarang paman ingin bicara serius sekali padamu”. Ucap paman mulai bicara. “ iya paman ada
apa?”. Jawabku “ sampai kapan kau akan tinggal disini, bukan maksud Paman mengusirmu. Justru paman senang sekali jika kau
berada di sini. Tapi bukan dalam keadaan yang begini, tidakkah kau rindu pada Ibumu, adik-adikmu. Sampai kapan kau akan terus bertengkar dengan hatimu. Paman tahu hatimu sangat
merindukan Ibumu
? Kenapa kau menyangkalnya Karti.” Jelas Paman. “ kerumah siapa aku akan kembali jika Ibu saja tidak menginginkanku ? Ibu sudah benci padaku.
Dan aku juga benci diriku. Biarlah paman aku tinggal disini. Ibu selalu
menyalahkan ku atas semua. Kejadian yang kemaren, bagi ibu itu adalah salah ku. Padahal aku sudah memperingatkaan mereka
untuk terus berjalan
dibelakangku. Mereka saja yang susah diatur tapi bagi ibu tetap saja salahku. Juga
aku sudah
lelah menerima nasibku. Miskin, aku lelah menerima ini semua.” Balasku pada Paman. “rupanya kau masih belum mengerti Karti. Nanti tepat tengah malam kau tidak usah tidur
dahulu. Kau lihat apa yang akan terjadi.
Jangan
tidur, dengar”. Belum sempat bertanya kenapa Paman langsung
pergi meninggalkanku.
Langit kelam. Hanya hening yang
ada. Aku masih penasaran apa yang akan terjadi seperti apa yang dikatakan Paman. Walau dari tadi mata ini selalu saja
ingin terpejam namun
ku paksakan untuk tetap terjaga. Tak lama aku mendengar suara pintu rumah Bibi diketuk. Pintu nya bersebelahan dengan kamarku jadi
cukup terdengar jelas.
“Assalamualaikum ...Ratih” ucap suara itu sambil mengetuk pintu. Tak lama Bibi Ratih menjawab. Mungkin Bibi Ratih juga sudah menunggu. “Waalaikumsalam” Bibi Ratih membuka pintu. “maaf Ratih sudah tiga hari ini merepotkan kalian. Aku pun tak
tahu sampai kapan kami seperti ini”. Ya. Ampun suara itu . Ibuku. “ tidak
apa-apa kak, kakak boleh datang kapan pun kakak mau.” “ terima kasih Ratih kemana Hardi”. “ Hardi sudah tidur kak,”. “ Karti?” . “Karti juga sudah tidur kak”. Aku!. Ibu bertanya tentang aku, aku tak menyangka, terkejut. “ini bajunya Ratih, aku sudah menyiapkannya. “ sebenarnya aku rindu pada dia. Tapi dia
tidak tahu itu. Mungkin karena kesalahan ku juga. Aku terlalu sering memarahinya.”. Aku
tersentuh mendengarnya
hati ini menangis. Betapa salahnya aku pada ibu. “tidak kak, dia hanya salah paham saja. Maklumi saja kak dia masih remaja, emosi nya belum stabil.” Boleh aku menengoknya” pinta
iIbu. “tentu kak”.
Buru-buru aku menutup mataku berpura’pura tidur. Terdengar pintu kamar terbuka pelan. Kakinya melangkah mendekat padaku menyelimutiku dengan betul. Perlahan ciuman itu mendarat pada
keningku. Betapa aku menahan tangis. Mengapa tidak aku telah salah menilai Ibu. Diam. Mungkin ibu memperhatikanku. Kemudian terdengar pintu tertutup mungkin Ibu sudah keluar. “sudah, Ratih terima kasih telah menjaga anakku. Maaf
merepotkanmu. “tidak apa-apa kak. Toh aku juga senang mengurus Karti”. “terima kasih Ratih aku pulang dulu”. “sama-sama kak, hati-hati di
jalan kak” terdengar pintu tertutup. Aku menangis . Mengapa aku masih
berpikiran bodoh. Bodohnya aku. Bodohnya kau karti. Ucapku dalam hati. Aku
menangis hingga tak terasa mata ini sudah terpejam.
**
“bagaimana karti kau sudah
menyaksikannya semalam” ucap paman bertanya. “jadi karti sudah tau semalam ibunya datang”
Bibi menyela.
“Aku yang menyuruhnya
biar dia tahu bahwa
ibunya sangat
menyayangi dirinya.”
Jawab paman. “ terima kasih Paman. Jika tidak karena Paman aku tidak akan
merngerti Ibu”. “kau perlu tahu Karti kenapa Ibumu menyuruhmu pergi ke
kebunku”. Sambil tersenyum Paman bertanya padaku. “karena Ibu tak punya uang” jawabku
singkat. “memang betul Ibumu tak punya uang, karena dia telah menghabiskan
semua uangnya untuk membeli sepatu untukmu dan kau perlu tahu kenapa Ibumu sering
marah pada kau Karti, karena kau harapannya, kau anak tertuanya, dia ingin kau
dapat mengurus adikmu kelak. Sesungguhnya dia ingin yang terbaik untukmu.”
Dengar apa yang Paman bilang, aku akan menjawab
semua penasaranmu itu.
“ kau tahu Karti, tidak ada yang kebetulan didunia ini. Semuanya
pasti, hanya saja manusia yang membuatnya tidak pasti. dan semua ini
diciptakan sudah pas dengan porsinya. Allah menciptakan
semua ini sudah pas tidak lebih dan tidak kurang. Termasuk semua yang buruk. Kenapa
ada kejahatan ? Karena untuk menciptakan kebaikan. Kebaikan ada karena kejahatan. Begitu pula dengan harta. Orang kaya ada karena
orang miskin. Bayangkan jika didunia ini semuanya baik atau semuanya kaya. Kita
tidak akan dapat mengatakan bahwa itu adalah orang kaya atau kebaikan. Pertanyaan yang paling penting
adalah kenapa
itu semua harus ada. Karena itu semata hanya ujian. Semua ini ada karena ujian.
Bukankah hidup ini adalah belajar. Semua tentang
hidup ini adalah belajar, belajar mengendalikan dirimu, bukan mengendalikan
orang lain. Mengapa kau benci dirimu, Ibumu, adikmu, nasibmu kenapa kau benci itu semua Karti? Jangan pernah membencinya. Peluk
erat,
genggam erat, terima semua
ini. Peluk erat semua kebencianmu, semua kesedihan mu, kerinduanmu peluk erat
genggam erat semuanya. Semua yang tidak kau sukai. Terima semua itu. Karti. Dan
yang perlu kau lakukan adalah belajar. Belajar menerima, belajar untuk berusaha berubah. Karena semuanya
dapat berubah Karti yang pasti dapat menjadi ketidakpastian. Kau mengerti apa yang aku
katakakan”
“Aku
mengerti, tapi
sejak dulu aku sudah berusaha menerima Paman. Tapi ini yang aku dapatkan”
“Berarti
kau belum paham apa yang aku katakan”
“Lantas
apa inti
dari semua
perkataanmu Paman”
“IKHLAS, jika kau sudah menemukan makna keikhlasan
yang sebenarnya maka kau akan dapat merasakan hidup yang hakiki yang telah
diberikan Allah.”
“Kau
harus pulang Karti.”
“Ya
aku ingin pulang Paman.”
~Selesai~