Entri yang Diunggulkan

Cerpen

Assalamualaikum.....  sedikit berbagi, cerpen ini dibuat oleh adikku. Sebenarnya aku tak menyangka sama sekali bahwa cerpen ini dia buat...

Kamis, 30 Maret 2023

Dari Sigadis

Alkisah, dari seorang gadis yang dirundung nestapa oleh asa, taman indah yang ia rawat bertahun harus kering. Dalam langut dan kemelut sang gadis berusaha menepi dalamnya laut.

Sedang bangkit menyadarkan diri, datanglah seorang laki-laki, dengan niat baik ingin berbagi menebar kasih. Sayang benih kasih yang ditebar tak tumbuh lantaran hati sigadis sedang kering dan tandus. 

Sang laki-laki terus menebar dan menyemai tanpa tahu benih hanya terbang di tiup anila kegersangan.

Sampai suatu ketika sigadis, memungut setiap taburan benih kasih tebaran silelaki, lalu membungkus dan memulangkannya. Silelaki mungkin terdayuh, patah dan layu tiada yang tahu.

Seperginya silelaki, sang gadis terus introspeksi apa yang sudah ia lakukan baik bagi diri? Dalam riuh debat sunyi tiba-tiba sebuah lakuna berdebu dengan guguran daun kering tiupan anila, hati sigadis diketuk citta yang datang bergandengan, ada sisa benih yang susah payah mencuat diantara bebatuan hamparan gersangnya lakuna luput dari mata sigadis.

Sigadis ingin menemui silelaki, menawarkan tanah subur pada silelaki. Namun terlambat, silelaki sudah menyemai benih di tanah lain.



Sekiranya, lelaki itu datang sedikit lebih terlambat dari gersangnya hati sigadis, mungkin sigadis dan silelaki akan menuai bersama. *Batin sigadis! 🍃



Sabtu, 28 April 2018

Cerpen



Assalamualaikum.....  sedikit berbagi, cerpen ini dibuat oleh adikku. Sebenarnya aku tak menyangka sama sekali bahwa cerpen ini dia buat sendiri. Dan cerpen ini dibuat untuk tugas Mata Pelajaran Bahasa Indonesia nya kemarin ....


HAKIKI
Karya : Amril Sastra

Aku belum kalah.                                                                                            
Tahukah kalian jika manusia memiliki kekuatan yang luar biasa di balik hatinya ? kekuatan yang bisa membuat orang bahagia, senang atau dapat merasa kedamaian ? sesuatu yang besar di balik hatinya ?
CINTA ? banyak orang menganggap cinta adalah segalanya. Cinta adalah kebahagiaan. Cinta adalah kekuatan yang besar yang tersimpan di balik hati.
Tapi ini semua bukan tentang cinta.
Jika jawaban kalian adalah cinta. Kalian salah. Ada kekuatan yang lebih besar dari cinta. Sesuatu yang tersimpan dibalik hati manusia. Murni, dan jauh dalam lubuk hati manusia. Sulit ditemukan.
Temukan jawabannya!
**
Aku Karti.
Lembut belaian angin menyapu sela-sela rambutku, berbisik lirih menggumamkan kerinduan. Angin malam menghembuskan sejuta sunyi membawa sepi. Aku menatap langit memandang  jauh. Jauh sekali, malam ini langit terang tak tersaput awan dihiasi berjuta bintang yang tumpah  mengukir angkasa. Hanya rembulan menyepi sendiri namun tetap bersinar.
Aku berdiri di beranda rumah panggung tua yang mungil. Rumahku. Menatap langit tenang sembari mengadu pada Nya. Kenapa ? hanya itu yang ingin  aku tanya. Seakan mendapat jawaban wajah itu datang bagai siluet yang terbentuk dari ribuan bintang. Wajah kuat yang tersenyum dengan bahagia. Oh wajah itu aku merindukannya. Rindu sekali.
Kerlip lampu rumah penduduk  memecah gulita malam. Hanya hening bertabur angin malam yang membekukan hati. Wajah itu masih terpapar di langit terang. Dalam lamunan, ingatanku kembali mengingat kejadian tadi siang. Wajah marah ibu masih terngiang dalam benakku, dengan segala perkataannya yang bagaikan peluru bertubi-tubi  menghantam tubuhku. Hati ini berusaha menerima semua perlakuan ibu karena bukan kali ini saja ibu bersikap seperti itu  padaku. Namun tetap saja dengan logika tak mampu menerima semuanya.
Perlahan sebutir kristal bening keluar dari pelupuk mata ini. Kristal cair yang menyimpan segala rasa yang sedang ku alami saat ini. Walau terbiasa menerima perlakuan ini semua namun tetap saja menyakitkan bagiku. Memang kejadian tadi salahku, aku lupa mengangkat jemuran ibu ketika hujan lebat seketika mengguyur. Aku punya alasan untuk itu dua adik laki-laki ku sedang bertengkar memperebutkan sebuah mainan. Yang tua tidak mau mengalah yang satunya berkeras hati. Namun bagi ibu tidak ada alasan untuk kesalahanku. Salah tetap salah. Maka aku mendapatkan amarah besar serta hukuman. Sekali memberi alasan ibu membentakku dengan perkataan yang bagiku itu adalah sebuah pisau yang di hujamkan kepadaku. “kau anak durhaka”, “tidak berguna”, demikian perkataan ibu padaku jikalau aku menjawab.
 Bukan karena itu semua aku menangis hanya aku rindu. Aku rindu ibu yang dulu, aku rindu wajah yang terpapar di langit itu. Ayah, dialah alasan dari ini semua, dialah alasan kenapa ibu seperti ini, dialah alasan kenapa hidupku seperti ini, dia alasan kenapa hidup kami seperti ini. Entahlah sejak kepergiannya, semua berubah, ibu tak lagi ayu dengan parasnya seketika ia menjadi wanita tangguh, pekerja keras, kulitnya tak lagi terawat. Sejak itu pula sifat ibu mulai berubah, ia tak lagi terbalut dalam sifat ayunya yang ramah-tamah, Ia harus banting tulang menghidupi ke tiga anaknya ini, dari pagi hingga senja mulai memenuhi langit. Sementara segala urusan rumah diserahkannya kepadaku. Aku tak lagi suka bercerita kepada ibu. Aku takut. Bukan aku membencinya, karena ini semua demi kami, hanya saja entah kenapa ada sesuatu yang sulit untuk menerima ini semua. Aku mencoba, dan selalu mencoba menerima namun tak sanggup.
“Karti!” tegas suara itu menyapa dari belakangku, tepat didepan pintu. Lamunanku buyar, aku menghentikan tangisku mengusap mataku yang berlinang. Suara itu, aku sangat mengenal suara itu. Ibuku. “apakah kau ingin terus berada diluar sampai pagi. Sudah tengah malam ini, masuk kedalam!” belum sempat menjawab, ibu langsung memberi perintah. Aku diam, terdengar, langkah kakinya masuk kedalam.
Sekali lagi aku menatap kelangit memandang bintang yang terus benderang mengukir angkasa. Namun sayang wajah itu menghilang. Mungkin itu hanyalah bayangan kerinduanku.
**
            Semburat cahaya kemerah-merahan di langit timur mulai jelas terlihat, memaparkan keindahannya menyamarkan kegelapannya. Biru nan sejuk masih membungkus tanah kelahiranku yang masih basah oleh embun pagi. Tak kalah riuh kicau burung menambah permainya pagi.
             Ketika itu aku terbangun dari ranjang kayu yang telah lapuk dan dimakan usia. Sudah menjadi tugasku untuk mengurus kedua adikku sejak ayah pergi ke nirwana langit. Sedangkan ibu, selalu ketika kami bangun ibu sudah pergi bekerja di ladang. Bukan ladang milik ibu tapi milik orang lain. Pagi ini seperti biasa rutinitasku adalah membangunkan kedua adikku. Selepas sembahyang subuh dengan masih mengenakkan mukena aku masuk ke kamar adikku. Raka dan Randi. Dua adik kembar yang sangat keras hati selalu tidak mau mengalah. Beda 5 tahun saja dengan ku. Mereka saat ini berusia 12 tahun masih menduduki bangku sekolah dasar kelas enam. Raka lahir lebih dulu daripada Randi.
“Randi, Raka ayo bangun !. Sudah pagi, kalian harus sekolah”. Dengan tegas aku membangunkan mereka. “iya kak, sebentar lagi kami bangun” randi menyahut dengan ugal-ugalan. “Bangun, nanti kalian terlambat ke sekolah”. Aku menarik selimut mereka dengan keras. Masih juga mereka tidak mau bangun. “ ayo bangun nanti ibu marah kalau kalian terlambat ke sekolah. Kakak juga yang mendapat omelan ibu. Ayo bangun!” aku membentak mereka seraya mendorong tubuh mereka agar bangun. “Iya kak kami bangun sekarang” aku menggiring mereka ke pintu belakang menuruni tangga kayu yang telah hampir rubuh. Kamar mandi kecil yang bertembokkan kayu dan kain lusuh dengan air sekadar air sumur saja yang dikelilingi oleh rerumputan liar yang merambah ke kamar mandi. Sementara itu aku langsung bersiap menyiapkan sarapan pagi untuk  kami. Bersiap untuk pergi ke sekolah. Aku masih duduk bangku SMA kelas 2. Sekolahku berada dekat dengan sekolah Raka dan Randi hanya berjarak sekitar 150 meter. Walaupun hanya sekolah desa namun cukup berkembang pesat akhir-akhir ini.
**
            Pagi yang cerah, langkah gontai menapaki jalan setapak yang berliku. Aku mengikuti langkah kedua adikku yang berjarak tiga langkah dariku. Mereka sibuk bercerita dan bercengkrama riuh. Hanya saja aku sibuk memperhatikan sepatu bertaliku yang lusuh dan hampir saja tidak beralas. Sepatu bekas dari tetangga. Kemaren sore aku hendak mengatakan pada ibu namun ibu sudah keburu marah padaku. Aku takut, aku malu. Aku takut kalau alas sepatuku copot dan aku akan malu pada teman-teman. Berpikir, dan berpikir sepintas terniat dalam benakku untuk tidak datang sekolah hanya saja aku takut akan kemarahan ibu. Tanpa sadar aku sudah tertinggal jauh dari kedua adikku. Aku berusaha mengejar Raka dan Randi.
“Raka, Randi tunggu kakak!”. Aku berteriak sembari mengejar mereka yang sudah jauh meninggalkanku. Terengah-engah aku mengejar mereka yang sudah jauh “makanya kakak itu jalannya harus cepat, jangan sibuk mikirin pacar terus” cetus Raka bergurau. Aku hampir saja menjitak kepala pelontos Raka, namun sayang aku sudah sampai pada sekolahku.
             Aku berhenti pada pintu gerbang sekolah. Sekali lagi aku menatap ragu sepatuku.
             “tenang Karti, hadapi semuanya dengan tenang. Jangan sampai kau menjadi bahan tertawaan” aku berujar pada diriku sendiri. Menyemangati egoku, meski begitu masih terselip keraguan jauh dalam hatiku. Aku masuk sambil berjalan mengais seperti orang pincang. Takut sekali jika sepatuku tidak beralas. Sambil membetulkan posisi jilbab aku masuk dengan keberaniaan yang menggunung namun dialiri oleh sungai ketakutan dan keraguan. Aku berhati-hati dalam berjalan, menjaga sepatuku tetap dalam kondisi baik. Mungkin akan baik sampai sekolah nanti. Semoga keberuntungan berpihak padaku.
**
Waktu Merenggut harapan
Aku salah. Ternyata keberuntungan tidak berpihak padaku. Hati ini gusar. Betapa bencinya aku pada mereka. Benci sekali. Redup pandangan ku melihat semua. Aku malu. Aku sedih. Tak mampu menerima semua kekesalan ini. Aku mengingat semuanya, perkataan mereka, tawa mereka, gelagat mereka. Semua menyakitkan. Kejadian tadi ...
Hari ini adalah jadwal untuk praktek di laboratorium komputer. Semua siswa diharuskan untuk masuk kedalam laboratorium itu dan melepas sepatu. Melepas sepatu. Syukurlah ucapku dalam hati. Setidaknya dapat memperlambat rusaknya sepatuku.
Dua jam berlalu. Jam pelajaran TIK sudah selesai. Semua siswa segera bergegas meninggalkan laboratorium. Hanya tertinggal aku dan dua orang perempuan lainnya yang disuruh oleh pak guru untuk membersihkan laboratorium. Aku bersyukur lagi tidak mengenakkan sepatu itu dengan cepat. Namun ketika aku keluar dan hendak kembali kekelas.
“Kemana sepatuku ?” aku berucap pelan. “kenapa Kar?” tanya salah satu temanku. “sepatuku hilang tadi aku letakkan disini” aku menunjuk tempat itu dan melihat sekitar. “ya udah kami kembali ke kelas dulu, mungkin ada teman yang lain yang melihat sepatumu. Nanti aku kabarkan kepadamu”. Belum sempat menjawab mataku langsung terbelak melihat itu. Sepatuku. Tiga brandalan nakal itu membawa sepatuku menggunakan kayu panjang dan menggantung sepatu ku di sana. Sungguh jelas sepatuku yang hampir saja tidak beralas. Mereka menertawakan dan memamerkannya pada siswa lain. Bak pameran saja. Mereka membawa ke tengah lapangan dan berteriak-teriak. Betapa emosi ini bercampur aduk. Hati ini marah, kesal, malu betapa aku benci melihatnya. Rasa ada gravitasi menarikku kesana.Aku berlari dan merebut sepatuku. Kalian tahu betapa aku malu. Sangat malu. Semua siswa menyorakiku. Dengan sedu Aku merebutnya dan langsung pergi membawanya kekelas. Jadilah aku menahan segala perasaan campur aduk hingga pulang. Dan tiga brandalan itu. Aku benci. Benci sekali. Andai tadi aku tidak hadir ke sekolah pasti ini semua tidak akan terjadi. Aku menyesal.
**
                     Gulita malam. Langit kelam berhias awan. Memenjarakan semua kata. Kelu lidah ini ketika hendak berucap pada ibu. Hati ini takut namun logika mendorong ku untuk maju mengatakannya. Aku sedang membantu ibu untuk menyiapkan makan malam.
Bu, ada sesuatu yang hendak kubicarakaan pada ibu”. Aku berkata ragu. “ya, bilang saja ibu mendengarkan” Ibu menjawab tak acuh. “sepatuku Bu, sudah tak dapat dipakai lagi”. “kenapa dengan sepatumu?”. “sepatu itu sudah lama bu, sudah rusak dan lusuh. Alasnya hampir saja copot. Lagi pula sepatu itu pemberian tetangga”. “memangnya kenapa dengan pemberian tetangga? Kau malu?” Ibu berkata dengan nada marah. “tidak Bu, aku tidak malu. Hanya saja aku sudah lama tidak pernah memakai sepatu baru”. “ya, Ibu tidak mampu, ibu tidak mampu membeli”. “untuk saat ini ibu tidak bisa memenuhi permintaanmu. Pakai saja yang itu dulu”. “ tapi Bu ...”.  “ tidak ada tapi-tapi. Kau harus pakai itu dulu!. Sekarang cepat panggilkan adik mu Ibu membantah apapun yang aku katakan.
              Aku berbalik melangkah pergi dengan rasa kecewa mendalam dalam dadaku. Sesak. Aku ingin menerima semua ini. Berusaha bersabar menerima semuanya. Di ruang tengah ku lihat Raka dan Randi sedang asik bermain.
“Randi, Raka ibu manggil kalian makan cepatlah!” ujarku beringas pada mereka. “iya kak, tapi jangan marah, nanti  kakak cepat tua”. Ketus Randi. “kalau tua nanti tidak ada yang mau lagi”. Raka menambahkan. Anak-anak ini, aku hampir saja menjitak mereka. Mataku terpicing pada mereka. Menatap marah. “ayo cepat” aku memberi perintah. “iya” ucap Raka menjawab.
Di meja makan kami duduk melingkar. Seperti biasa randi dan raka duduk di smaping ibu.
Raka Randi kalian sudah bersihkan kebun, yang ibu suruh”. Sontak mereka saling bertatapan. Berhenti meneruskan makanan kedalam mulut. “jangan bilang kalian lupa”. Sahut ibu dengan nada tinggi meski mereka tak menjawab. “tapi benar bu, kami lupa”  balas Rendi pelan. Aku hanya diam dan meneruskan makan. “Karti” sontak membuatku kaget. “kenapa tak kau ingatkan pada mereka untuk membersihkan kebun belakang. Seharusnya kau yang peringatkan mereka. Itu tugas kau” tambah Ibu. Aku diam menatap heran kenapa jadi salahku. “tapi  Bu,”. “tidak ada tapi-tapi, karena segala urusan rumah Ibu serahkan pada kau. Jadi semua ini tugas kau. Paham?”. “paham Bu” aku menjawab pelan. Dalam hati aku merasa kecewa. Mengapa menjadi salahku.
                Di beranda rumah tua lagi. Waktu yang sama. Hati yang sama. Langit yang sama, Gulana yang sama. Apa gerangan hati ini selalu hendak bersedih. Aku tak mampu menerima semua kebencian hari ini, kekeselan hari ini. Aku benci. Aku benci pada tiga brandalan itu, aku benci akan kemarahan Ibu, aku benci pada tingkah adikku, aku benci melihat teman yang  dapat hidup dengan senang. Aku benci menjadi Karti. Karti yang selalu terpojokkan, Karti yang selalu menanggung kemarahan Ibu, Karti yang selalu menanggung beban adikknya, Karti yang miskin. Karti yang tak mampu menerima kekesalan ini. Aku benci sekali. Aku memelas pada langit dan berharap bumi mengiba padaku. Kembali aku menatap langit dengan air mata. Langit kelam tertutup awan. Bintang tak membuat formasi lagi . Hanya samar-samar cahaya bulan yang terlihat dan wajah itu. Wajah itu kemana wajah itu pergi? Aku rindu. Sampai kapan aku seperti ini?
**
              Pagi kembali datang  dalam balutan surya yang hangat. Ahad kembali menyapa. Syukurlah ahad tiba. Mengapa tidak urusuan sepatuku masih belum selesai. Hari ini, juga kebetulan Ibu tidak pergi bekerja.
               Langit biru. Gunung masih berselimutkan awan putih. Angin sejuk berhembus di tengah paparan sinar ultraviolet  sungguh menyejukkan Aku masih berharap bahwa tidak ada lagi kebencian hari ini. Pagi ini sekitar jam 10 pagi. Ibu mendadak menyuruh kami bertiga ke ladang paman Hardi. Mengambil kayu bakar dan sekaligus mengambil segala jenis sayuran pun ikan yang ada di kolam paman Hardi. Atau apalah yang dapat di jadikan pengisi  perut. Entah kenapa, tapi Ibu bilang bahwa hari ini Ibu tak punya uang. Jadilah segala makanan di ambil dari ladang paman Hardi. Paman Hardi. Paman Hardi adalah adik dari ayahku. Wajahnya hampir mirip dengan ayahku tubuh tinggi tegap, dan wajah yang kuat dihiasi jambang tipis. Sifatnya sungguh baik sekali. Tiap sebulan sekali ia datang membawa segala bahan makanan. Pun dengan ladangnya ia mengizinkan kami mengambil apa yang ada diladangnya. Begitupun dengan istrinya yang sungguh cantik dan baik. Usianya masih muda sekitar 29 tahun. Ia sudah menganggap kami sebagai anaknya. Memang sejak menikah 5 tahun lalu paman Hardi belum dikaruniai seorang anak pun.
                Cukup jauh jalan yang harus kami lewati, bagi Raka dan Randi karena mereka baru pertama kali pergi keladang paman Hardi. Namun tidak bagiku aku sudah terbiasa pergi kesana bersama Ibu. Namun hari ini, entah kenapa Ibu menyuruhku membawa dua anak nakal ini. Aku menikmati perjalanan ini, walaupun cukup jauh. Dengan membawa keranjang bambu dan pisau di dalamnya aku berjalan lebih dulu dari mereka. Malas sekali berjalan bersama mereka yang sibuk bercerita sambil menjahili satu sama lain.
Raka, Randi kalian harus ikuti langkah kakak. Jangan berkeliaran” aku berkata dengan tegas pada mereka sebelum berangkatBaik kak” jawab mereka serempak sambil semangat.
Dalam perjalanan aku terus memikirkan tentang sepatuku yang rusak. Aku masih mendengar pembicaraan Raka dan Randi. Aku terbuai oleh pikiran. Hingga tanpa sadar kebencian itu datang lagi tepat ketika sampai pada  ladang paman Hardi. Tepat pada pondok yang di buat paman Hardi. Mereka hilang.
“ nah, kita sudah sampai sekarang” dengan wajah cukup lelah aku menoleh kebelakang namun mereka tidak ada lagi. Pasti mereka bercanda lagi. Mau menjahili aku. Pikir singkatku. Aku meletakkan keranjangku pada batu yang tepat berada pada pondok itu.“Raka, Randi kakak tidak mau bercanda. Sekarang keluar jangan sembunyi” teriakku dengan tegas.
DIAM
Raka, Randi cepat keluar. Kalau kalian tidak keluar nanti kakak cari dan kalau dapat kakak jitak kepala kalian beneran. Cepat keluar” tegasku lagi
DIAM
Raka, Randi kalian dimana” teriakku. Masih tidak ada jawaban. Aku mulai panik kemana mereka. “Rakaaaaa, Randiiii.” Aku semakin panik. Aku mulai melihat sekeliling. Hanya diam yang ku temukan dan semak belukar yang ada. Ini bukan gurauan.
           Dalam kepanikan aku kembali mengambil keranjang yang kubawa tadi. Berlari dalam kepanikan. Pikiranku kacau. Mereka selalu saja buat masalah denganku. Di sisi lain aku berharap mereka baik-baik saja. Bagaimana tidak mereka belum pernah menjejaki jalan ke ladang paman Hardi. Tak tahu arah yang akan ku tuju. Aku terus berlari mencari mereka. Selama mereka belum ditemukam aku tidak akan pulang. Aku takut. Aku takut akan kemarahan Ibu. Tepat di tengah perjalanan aku menemukan harapan. Aku bertemu seorang petani. Dengan masih terengah-engah aku bertanya.
Pak, bapak lihat anak kecil dua orang tidak Pak. Kembar usianya dua belas tahun pak. Bapak lihat tidak pak” aku bertanya dengan rasa gelisah dan panik. “ tidak dek, tapi kalau  dua ekor kambing saya lihat dek”. Jawab bapak itu. Tanpa menghiraukan jawabnnya aku langsung lari lagi dengan panik. Bodoh sekali dengan kambing itu. Aku kembali berlari. Dalam hati ini aku berharap. Ya tuhan jangan sampai ada apa-apa dengan mereka. Tepat di sebuah jembatan aku bertemu lagi dengan dua orang. Tapi sayang mereka juga tidak melihat mereka.
                   Aku lelah. Terengah-engah aku mencari mereka. Aku tak sanggup lagi berlari. Di dekat batu aku duduk. Ku letakkan keranjang disaampingku. Perasaan ini membuatku lelah. Perlahan menetes air mata ini dengan sedu. Aku takut pulang. Kemarahan ibu membayang padaku. Aku benar-benar takut. Napasku bergerak dengan kencang seiring tangisku. Bagaimana ini? Persoalan ini membuatku benar-benar panik. Perasaan campur aduk. Namun disaat itu segelintir harapan datang padaku. Hanya segelintir.
Karti, kenapa menangis”. Tiba-tiba suara itu terucap padaku seraya tangan itu memegang bahuku. Aku kaget. Menoleh kebelakang. Pak Yadi tetangga jauh ku. “kau pasti tengah mencari Raka dan Randi. Mereka sudah ku antar pulang”. Tambahnya. “beneran Pak?” jawab ku menanti. “iya tadi mereka tersesat mencarimu. Lagipula Randi terluka dia terkena pecahan beling. Darahnya berceceran dimana-mana”. “mereka bilang kau meninggalkan mereka. Tapi tidak, aku percaya pasti mereka yang sibuk bermain”. Pulanglah sekarang Karti”. Aku berlari lagi menuju rumah. Pulang.
**
                Deru yang menggebu
                Perlahan aku menaiki tangga rumah panggungku. Terdengar suara banyak orang di rumah. Aku membuka pintu perlahan ragu. Terdengar suara Randi yang menangis. Pintu terbuka. Semua mata tertuju padaku. DIAM. Semua diam. Mata itu berbicara padaku, mata itu dari kejauhan. Tepat di sebelah Randi yang terkapar menangis menahan kesakitan. Mata Ibu, mata Ibu seakan telah memberiku perintah untuk pergi dan mata itu menyalahkanku atas kecelakaan ini. Aku tak sanggup melihat mata itu. Mata merah yang berapi Aku tak sanggup melihat mata Ibu. Kembali aku menutup pintu dan berlari pergi dalam tangisan. Sudah terpikir olehku tujuan kakiku berlari. Berlari jauh meninggalkan rumah. Kemana lagi yang akan kutuju selain rumah paman. Pamanku satu-satunya.
                         Aku mengetuk pintu rumah pamanku. Tepat di depan pintu.
Assalamualaikum ....” ucapku. Sambil mengetuk pintu. Diam tak ada yang menjawab. Kembali aku mengetuk pintu “assalamualaikum .... Paman, Bibi” ucapku dengan lebih keras lagi. Pintu terbuka keluarlah Bibiku. “Oh kau Karti, ayo mari masuk ke dalam” ucap Bibiku sambil mempersilahkan ku masuk. Aku masuk dengan perlahan. Rumah Bibiku cukup luas dan terisi banyak. Bibi mempersilahkanku duduk di kursi panjang yang dekat dengan jendela menghadap keluar. “Karti kau kenapa?” tanya Bibiku menyelidik. “tidak, aku tidak apa-apa Bi”. Jawabku bohong. “lalu  kenapa matamu merah Karti” Bibi semakin menyelidik. “ oh hanya kelilipan saja Bi tadi, oh ya paman Hardi kemana Bi” ucapku berusaha mengalihkan pembicaraan. Walau aku tahu Bibi menaruh curiga padaku “ pamanmu lagi keluar tadi, oh ya kau mau makan tidak?”. “ boleh, Bibi masak apa hari ini?” tanyaku mencairkan suasana. Padahal dalam hati ini membeku dipenuhi ketakutan dan kebencian. Aku benci menjadi Karti.
**
Langit sore, surya masih di ambang-ambang tenggelam. Aku terbangun. Terbangun dari ranjang besar Bibiku. Akupun tak sadar aku tertidur. Pulas lagi. Hanya aku sendiri disini.. aku keluar dan melihat paman dan Bibiku sedang bicara. Sepertinya serius. Aku keluar dari pintu kamar.
Karti kau sudah bangun”. Ucap Bibiku seketika aku keluar. Dia duduk menghadap paman. Paman menoleh. “ayo Karti kesini, duduk bersama Bibi dan Paman”.  Ucap Paman membujuk. Aku bergabung. Duduk di dekat bibi. Sejenak diam. Paman mulai berbicara.
“Bagaimana dengan sekolahmu Karti?” ujar paman. “sekolahku baik paman” jawabku pelan. “Karti ,sepertinya ada yang hendak kau sampaikan pada Paman dan Bibi” ucap paman mulai serius dan membujuk. “tidak Paman, tidak ada yang ingin aku katakan Paman.” Jawabku berusaha menutupi. “ Betulkah Karti ?” Paman menyelidik. “aku boleh menginap disini tidak Paman. Semalam saja.?” . “ ada lagi ?” tanya Paman berusaha membuka rahasiaku. “ dengar, Paman tahu semuanya yang terjadi. Ibumu sudah bercerita pada Paman. Nah sekarang Paman ingin mendengar penjelasan darimu pula, kenapa kau pergi dari rumah ?”. Ucap paman. “ Karti, katakan saja yang sejujurnya. Barangkali Paman dan Bibi bisa bantu masalah engkau.” Tambah Bibi membujuk sambil mengelus rambut panjangku. “ Ibu. Aku benci akan Ibu. Seolah Ibu menyalahkan semuanya padaku. Setiap kesalahan adikku aku yang kena marah. Ibu sudah tak sayang lagi padaku. Lagi pula aku lelah pada rumah itu, aku benci menjadi Karti” Ucapku dalam sendu. Tangisku tumpah pada Bibi. Aku memeluk Bibi memeluk erat. Paman hanya diam aku melihat Bibi menghentikan perkataan dan pertanyaan Paman.
**
Waktu semakin menusuk saja
            Tiga hari sudah aku berada di rumah Bibi. Dan aku semakin percaya bahwa Ibu benar-benar benci padaku. Buktinya dia sama sekali tidak menjengukku bahkan dia sampai menitipkan bajuku pada Paman dan Bibi, semua peralatan sekolahku. Aku tetap sekolah meski berada di rumah Bibi. Dan urusan sepatu untunglah bibiku punya sepatu lama yang sudah rusak namun tidak separah punyaku. Entahlah kenapa pikiranku ini membenci Ibu. Yang jelas perasaan ini campur aduk kesal, marah, kecewa, rindu, benci semua berpadu dalam hatiku. Tiba-tiba Paman memanggil. Bicara berdua saja karena Bibi sedang memasak pada saat itu.
Karti, sekarang paman ingin bicara serius sekali padamu”. Ucap paman mulai bicara. “ iya paman ada apa?”. Jawabku “ sampai kapan kau akan tinggal disini, bukan maksud Paman mengusirmu. Justru paman senang sekali jika kau berada di sini. Tapi bukan dalam keadaan yang begini, tidakkah kau rindu pada Ibumu, adik-adikmu. Sampai kapan kau akan terus bertengkar dengan hatimu. Paman tahu hatimu sangat merindukan Ibumu ? Kenapa kau menyangkalnya Karti.” Jelas Paman. “ kerumah siapa aku akan kembali jika Ibu saja tidak menginginkanku ? Ibu sudah benci padaku. Dan aku juga benci diriku. Biarlah paman aku tinggal disini. Ibu selalu menyalahkan ku atas semua. Kejadian yang kemaren, bagi ibu itu adalah salah ku. Padahal aku sudah memperingatkaan mereka untuk terus berjalan dibelakangku. Mereka saja yang susah diatur tapi bagi ibu tetap saja salahku. Juga aku sudah lelah menerima nasibku. Miskin, aku lelah menerima ini semua.” Balasku pada Paman. “rupanya kau masih belum mengerti Karti. Nanti tepat tengah malam kau tidak usah tidur dahulu. Kau lihat apa yang akan terjadi.  Jangan tidur, dengar”. Belum sempat bertanya kenapa Paman langsung pergi meninggalkanku.
                Langit kelam. Hanya hening yang ada. Aku masih penasaran apa yang akan terjadi seperti apa yang dikatakan Paman. Walau dari tadi mata ini selalu saja ingin terpejam namun ku paksakan untuk tetap terjaga. Tak lama aku mendengar suara pintu rumah Bibi diketuk. Pintu nya bersebelahan dengan kamarku jadi cukup terdengar jelas.
Assalamualaikum ...Ratih” ucap suara itu sambil mengetuk pintu. Tak lama Bibi Ratih menjawab. Mungkin Bibi Ratih juga sudah menunggu. “Waalaikumsalam” Bibi Ratih membuka pintu. “maaf Ratih sudah tiga hari ini merepotkan kalian. Aku pun tak tahu sampai kapan kami seperti ini”. Ya. Ampun suara itu . Ibuku. “ tidak apa-apa kak, kakak boleh datang kapan pun kakak mau.” “ terima kasih Ratih kemana Hardi”. “ Hardi sudah tidur kak,”. “ Karti?” . “Karti juga sudah tidur kak”. Aku!. Ibu bertanya tentang aku, aku tak menyangka, terkejut. “ini bajunya Ratih, aku sudah menyiapkannya.  “ sebenarnya aku rindu pada dia. Tapi dia tidak tahu itu. Mungkin karena kesalahan ku juga. Aku terlalu sering memarahinya.”. Aku tersentuh mendengarnya hati ini menangis. Betapa salahnya aku pada ibu. “tidak kak, dia hanya salah paham saja. Maklumi saja kak dia masih remaja, emosi nya belum stabil.” Boleh aku menengoknya” pinta iIbu. “tentu kak”.  Buru-buru aku menutup mataku berpura’pura tidur. Terdengar pintu kamar terbuka pelan. Kakinya melangkah mendekat padaku menyelimutiku dengan betul. Perlahan ciuman itu mendarat pada keningku. Betapa aku menahan tangis. Mengapa tidak aku telah salah menilai Ibu. Diam. Mungkin ibu memperhatikanku. Kemudian terdengar pintu tertutup mungkin Ibu sudah keluar. “sudah, Ratih terima kasih telah menjaga anakku. Maaf merepotkanmu. “tidak apa-apa kak. Toh aku juga senang mengurus Karti”. “terima kasih Ratih aku pulang dulu”. “sama-sama kak, hati-hati di jalan kak” terdengar pintu tertutup. Aku menangis . Mengapa aku masih berpikiran bodoh. Bodohnya aku. Bodohnya kau karti. Ucapku dalam hati. Aku menangis hingga tak terasa mata ini sudah terpejam.
**
             “bagaimana karti kau sudah menyaksikannya semalam” ucap paman bertanya. “jadi karti sudah tau semalam ibunya datang” Bibi menyela.Aku yang menyuruhnya biar dia tahu bahwa ibunya sangat menyayangi dirinya.” Jawab paman. “ terima kasih Paman. Jika tidak karena Paman aku tidak akan merngerti Ibu”. “kau perlu tahu Karti kenapa Ibumu menyuruhmu pergi ke kebunku”. Sambil tersenyum Paman bertanya padaku. “karena Ibu tak punya uang” jawabku singkat. “memang betul Ibumu tak punya uang, karena dia telah menghabiskan semua uangnya untuk membeli sepatu untukmu dan kau perlu tahu kenapa Ibumu sering marah pada kau Karti, karena kau harapannya, kau anak tertuanya, dia ingin kau dapat mengurus adikmu kelak. Sesungguhnya dia ingin yang terbaik untukmu.”
Dengar apa yang Paman bilang, aku akan menjawab semua penasaranmu itu.
“ kau tahu Karti, tidak ada yang kebetulan didunia ini. Semuanya pasti, hanya saja manusia yang membuatnya tidak pasti. dan semua ini diciptakan  sudah pas dengan porsinya. Allah menciptakan semua ini sudah pas tidak lebih dan tidak kurang. Termasuk semua yang buruk. Kenapa ada kejahatan ? Karena untuk menciptakan kebaikan. Kebaikan ada karena kejahatan. Begitu pula dengan harta. Orang kaya ada karena orang miskin. Bayangkan jika didunia ini semuanya baik atau semuanya kaya. Kita tidak akan dapat mengatakan bahwa itu adalah orang kaya atau kebaikan. Pertanyaan yang paling penting adalah kenapa itu semua harus ada. Karena itu semata hanya ujian. Semua ini ada karena ujian. Bukankah hidup ini adalah belajar. Semua tentang hidup ini adalah belajar, belajar mengendalikan dirimu, bukan mengendalikan orang lain. Mengapa kau benci dirimu, Ibumu, adikmu, nasibmu kenapa kau benci itu semua Karti? Jangan pernah membencinya. Peluk erat, genggam erat, terima semua ini. Peluk erat semua kebencianmu, semua kesedihan mu, kerinduanmu peluk erat genggam erat semuanya. Semua yang tidak kau sukai. Terima semua itu. Karti. Dan yang perlu kau lakukan adalah belajar. Belajar menerima, belajar untuk berusaha berubah. Karena semuanya dapat berubah Karti yang pasti dapat menjadi ketidakpastian. Kau mengerti apa yang aku katakakan”
Aku mengerti, tapi sejak dulu aku sudah berusaha menerima Paman. Tapi ini yang aku dapatkan
Berarti kau belum paham apa yang aku katakan
Lantas apa inti dari semua perkataanmu Paman
“IKHLAS, jika kau sudah menemukan makna keikhlasan yang sebenarnya maka kau akan dapat merasakan hidup yang hakiki yang telah diberikan Allah.”
Kau harus pulang Karti.
Ya aku ingin pulang Paman.






~Selesai~